a. Teks
Ada
beberapa pegertian yang dikemukakan oleh para ahli terkait dengan teks.
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukan ahli tersebut secara keseluruhan
hampir sama. Luxemburg (1989) yang dikutip Tedi dalam makalahnya menyatakan
bahwa teks ialah ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, dan pragmatik
merupakan satu kesatuan. Teks dalam hal ini tidak hanya dipandang dari sisi
tata bahasa yang sifatnya tertulis atau unsur-unsur kebahasan yang dituliskan,
lebih dari itu, suatu teks juga dilihat dari segi maksud dan makna yang
diujarankan. Teks memiliki kesatuan dan kepaduan antara isi yang ingin
disampaikan dengan bentuk ujaran, dan situasi kondisi yang ada. Dengan kata
lain, bahwa teks itu berupa ungkapan berupa bahasa yang di dalamnya terdiri
dari satu kesatuan antar isi, bentuk, dan situasi kondisi penggunaannya.
Kridalaksana
(2011:238) dalam Kamus Linguistiknya menyatakan bahwa teks adalah (1) satuan
bahasa terlengkap yang bersifat abstrak, (2) deretan kalimat, kata, dan
sebagainya yang membentuk ujaran, (3)
ujaran yang dihasilkan dalam interaksi manusia. Dilihat dari tiga
pengertian teks yang dikemukakan dalam Kamus Linguistik tersebut dapat dikatakan
bahwa teks adalah satuan bahasa yang bisa berupa bahasa tulis dan bisa juga
berupa bahasa lisan yang dahasilkan dari interaksi atau komunikasi manusia.
Selain
Luxemburg dan Kridalaksana di atas, Fairclough (1995:4) menyatakan bahwa;
A text is traditionally understood to be a piece of written
language a whole 'work' such as a poem or a novel, or a relatively discrete
part of a work such as a chapter. A rather broader conception has become common
within discourse analysis, where a text may be either written or spoken
discourse, so that, for example, the words used in a conversation (or their
written transcription) constitute a text.
Pendapat
yang dikemukakan oleh Fairclough di atas menujukkan bahwa sebuah teks itu,
secara tradisional merupakan bagian dari bahasa tertulis yang secara keseluruhan
'bekerja' seperti puisi atau novel, atau bagian yang relatif diskrit pekerjaan
seperti sebuah bab. Kemuadian, secara konsepsi yang agak lebih luas dan telah
menjadi umum dalam analisis wacana, di mana teks mungkin baik tertulis atau
lisan, seperti kata-kata yang digunakan dalam percakapan juga dapat dikatkan
sebagai suatu teks.
Berdasarkan
beberapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa teks adalah suatu kesatuan
bahasa yang memiliki isi dan bentuk, baik lisan maupun tulisan yang disampaikan
oleh seorang pengirim kepada penerima untuk menyampaikan pesan tertentu. Teks
tidak hanya berbentuk deratan kalimat-kalimat secara tulis, namun juga dapat
berupa ujaran-ujaran atau dalam bentuk lisan, bahkan ada juga teks itu terdapat
di balik teks.
Terkait
dengan konsep teks dalam kajian wacana berbagai macam pandangan yang
dikemukakan oleh ahli. Ada ahli seringkali menggunakan istilah wacana dan teks
secara bersamaan. Ada juga, yang beranggapan istilah wacana dan teks ini sama
dan ada juga yang menganggap kedua istilah tersebut berbeda.
Nunan
(1993:6) mengatakan “text to refer to any
written record of communicative event. Discourse to refer to the interpretation
of the communicative event in context”. Maksud pendapat yang dikemukakan
Nunan tersebut menunjukkan bahwa teks mengacu pada bahasa yang sifatnya
tertulis dari suatu pristiwa komunikasi. Wacana mengacu pada interpretasi dari
suatu pristiwa komunikasi berdasarkan konteksnya. Dengan kata lain, suatu teks
lebih mengacu pada bahasa tulis dan wacana merujuk pada interpretasi yang
dilihat dari kaitannya dengan kontek penggunaaan bahasa dalam proses
komunikasi. Ia mengemukakan “the term
‘text’ and ‘discourse’ are interchangeable”. Artinya, teks dan wacana
merupakan dua hal yang dapat saling bertukar. Dengan demikian, secara definisi
pemakaiannya antara teks dan wacana tidaklah berbeda (sama).
Juez
(2009:6) mengatakan secara umum istilah teks digunakan terbatas pada bahasa
tulis dan wacana terbatas pada bahasa lisan. Ia mengatakan bahwa dalam
linguistik modern telah mengenal konsep teks yang berbeda, yaitu memasukkan
setiap jenis ujaran ke dalam teks. Sebuah teks bisa berupa sebuah artikel
majalah, wawancara di TV dan lain sebagainya. Dengan demikian, teks tidak hanya
sekedar sebuah naskah tertulis yang berisi materi dan informasi tertentu.
Setiap jenis ujaran yang dituangkan melalui media tulis dapat pula dikatakan
sebuah teks, sehingga untuk memahami sebuah teks juga dibutuhkan peran wacana.
Berdasarkan hal tersebut, maka teks dan wacana sama-sama memiliki peran penting
dalam bahasa tulis maupun lisan.
Berbeda
dengan Stubbs (1983:9) yang mengatakan teks dan wacana merupakan dua hal yang
berbeda. Teks merupakan tuturan yang monolog non-interaktif, sedangkan wacana
adalah tuturan yang bersifat interaktif. Dalam konteks ini, teks dapat samakan
dengan naskah, misalnya naskah-naskah materi kuliah, pidato, dan lain
sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perbedaan antara teks dan
wacana itu terletak pada jalur atau segi pemakaiannya saja. Berdasar hal ini,
Mulyana (2005:9) mengatakan ada dua tradisi pemahaman di bidang linguistik,
yaitu analisis linguistik teks dan analisis wacana. Analisis linguistik teks
objek kajiannya berupa bentuk bahasa formal yang berupa kosa kata dan kalimat,
sedangkan analisis wacana terkait dengan analis konteks terjadinya suatu
tuturan itu.
Kemudian,
Edmondson (dalam Sumarlam dkk, 2003:5) juga membedakan anatara teks dan wacana.
Ia mengatakan “a text is structured
sequences of linguistic expressions forming a unitary whole”. Teks merupakan
suatu rangkaian ungkapan bahasa yang tersetruktur membentuk satu kesatuan.
Sementara itu, pada wacana dikatakan bahwa “a
discourse is structured event manifest to linguistic (and other) behaviour”.
Wacana adalah suatu peristiwa terstruktur yang dimanifestasikan dalam perilaku
bahasa atau yang lainnya. Batasan teks dan wacana tersebut mengisyaratkan bahwa
danya penekanan pada sifat keteraturan peristiwa ang dinyatakan dengan bahasa
pada wacana. Perbedaan pokok antara keduanya adalah teks merupakan suatu
peristiwa yang terstruktur yang dituangkan atau diungkapkan melalui
bahasa.
Jadi,
berdasarkan adanya pandangan yang menganggap antara wacana dan teks merupakan
dua hal yang sama dan ada juga yang menganggap berbeda, hal itu disebabkan oleh
adanya sudut pandang yang berbeda. Situasi ini sangat bergantung dengan
realisasi penggunaan bahasa. Ada ahli yang melihat dari unsur linguistik dan
ada juga yang melihatnya dari unsur non-linguistik seperti konteks dan ada pula
yang memandang dari aspek strukturnya. Sebuah wacana, misalnya suatu percakapan
jika dikaji prosesnya, maka wacana merupakan proses komunikasi antara pembicara
dengan mitra tutur yang menghasilkan interpretasi. Tetapi, jika dipandang dari
segi produk maka wacana itu dapat berupa teks sebagai produk bahasa yang
menghasilkan makna, sehingga wacana itu dibedakan dengan teks.
Kemudian,
jika sebuah wacana misalnya percakapan dapat dipandang sebagai teks jika
dilihat dalam hubungan kebahasaan antar tuturan. Selain itu, juga berpedoman
bahwa secara hierarki gramatikal wacana merupakan satuan bahasa tertinggi yang
lebih tinggi dari kalimat atau klausa. Kalau mengacu dari pandangan ini wacana
dapat disamakan dengan teks. Teks merupakan data dalam analisis wacana, baik
teks yang lisan maupun tulis. Teks dalam hal ini mengacu pada bentuk
transkripsi rangkaian suatu kaliamat atau ujaran.
b. Ko-teks
Dilihat
berdasarkan makna dalam Kamus Linguistik (2011:137), koteks
diartikan sebagai kalimat atau unsur-unsur yang mendahului dan/atau mengikuti
sebuah unsur lain dalam wacana. Koteks adalah teks yang mendampingi teks lain dan mempunyai
keterkaitan dan kesejajaran dengan teks yang didampinginya. Keberadaan teks
yang didampingi itu bisa terletak di depan (mendahului) atau di belakang teks
yang mendampingi (mengiringi). Sebagai contoh pada kalimat “Selamat Datang” dan “Selamat Jalan” yang terdapat di pintu
masuk suatu kota, daerah, atau perkampungan.
Kedua
kalimat di atas memiliki keterkaitan. Kalimat “Selamat Jalan” merupakan ungkapan dari adanya kalimat sebelumnya,
yaitu “Selamat Datang”. Kalimat “Selamat Datang” dapat dimaknai secara
utuh ketika adanya kalimat sesudahnya, yaitu “Selamat Jalan”, begitu juga
sebaliknya.
Keberadaan
koteks dalam suatu wacana menunjukkan bahwa struktur suatu teks memiliki
hubungan dengan teks lainnya. Hal itulah yang membuat suatu wacana menjadi utuh
dan lengkap. Ko-teks dapat menjadi alat bantu untuk menganalisis wacana. Dalam
wacana yang cukup panjang sering sebuah kalimat harus dicarikan informasi yang
jelas pada bagian kata yang lainnya. Perhatikan contoh berikut ini.
Markusen
adalah calon gubernur terkaya di negari ini. Tidak hanya itu, dia juga
seorang pengusaha dan mantan seorang dosen di salah satu PT ternama. Selain
itu, beliau juga dikenal sangat baik oleh masyarakatnya.
Kata
dia, beliau dan –nya yang
terdapat pada kalimat kedua dan ketiga di atas mengacu kepada Markusen pada
kaliamt pertama. Tafsiran itu didasarkan pada kalimat yang menyatakan bahwa Markusen adalah calon gubernur terkaya di
negari ini. Jadi, Markusen
pada kalimat itu menjadi koteks bagi dia, beliau dan -nya.
c. Konteks
Para
ahli bahasa dahulunya menganalisis kalimat tanpa memperhatikan konteksnya.
Makna sebuah kalimat baru dapat dikatakan benar bila kita mengetahui siapa
pembicaranya, siapa pendengarnya, bagaimana mengucapkannya, dan lain-lain. Oleh
sebab itulah, perlu menganalisis kalimat-kalimat terlebih dahulu dengan
menganalisis konteksnya.
Kleden
(dalam Sudaryat, 2009:141) mengatakan konteks adalah ruang dan waktu yang
spesifik yang dihadapi seseorang atau kelompok orang. Halliday (1994:6)
mengemukakan bahwa konteks adalah teks yang menyertai teks. Artinya konteks itu
hadir menyertai teks. Kemudian, Kridalaksana (2011:134) mengartikan konteks
adalah (1) aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait mengait dengan
ujaran tertentu, (2) pengetahuan yang sama-sama memiliki pembicara dan
pendengar sehingga pendengar paham apa yang dimaksud pembicara.
Menurut
Brown & Yule (1983) konteks adalah lingkungan atau keadaan tempat bahasa digunakan. Halliday & Hasan (1994)
mengatakan hafiah konteks berarti “something
accompanying text”, yaitu sesuatu
yang inheren dan hadir bersama teks, sehingga dapat diartikan konteks sebagai
situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Kemudian, menurut Mulyana
(2005: 21) konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu
pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu
berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada
konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Seperti terpola dari bagan
berikut.
Proses Peristiwa Bertutur
Pembicara (O1) Pasangan
Bicara (O2)
Pensandian (encoding) pembacaan sandi (decoding)
Pengucapan (fonasi) penyimakan
(audisi)
KONTEKS
Sumber: Mulyana,
(2005:21)
Pada hakikarnya, wacana adalah wujud nyata komunikasi verbal
manusia. Oleh karena itu, wacana selalu mengandaikan adanya orang pertama (O1)
atau biasa disebut pembicara, penulis, penyapa, atau penutur (addressor), dan
orang kedua (O2) sebagai pasangan bicara atau pendengar, pembaca, penutur (addresse). Keterpahaman terhadap
tuturan antara O1 dan O2, sebagaimana
terlihat dalam bagan di atas, sangat tergantung pada bagaimana kedua pembicara
memahami tuturan yang bersifat kontekstual.
Salah satu unsur konteks yang cukup penting ialah waktu dan
tempat. Contohnya: “Waktu pukul enam
sore, desa Tirtomoyo sudah tampak sunyi seperti kuburan. Terpaksa aku menutup
pintu rumah. Masuk dan tiduran.
Aku terbangun jam tiga pagi. Tidak dikira ternyata di jalan sudah banyak orang lalu lalang.” Contoh tersebut memberi informasi tentang
‘keadaan suatu desa berdasarkan konteks tempat dan waktu’. Pemahaman tentang keadaan dan keramaian desa
umumnya berbeda dengan kondisi diperkotaan. Informasi tersebut bahkan bisa
bermakna sebaliknya. Jam 18.00 petang di desa, terutama di daerah pelosok,
barangkali sudah dianggap malam (indikasinya sudah gelap, karena belum ada
penerangan listrik, dan sebagainya.) sementara di kota, konteks waktu seperti
itu masih dianggap sore. Sebaliknta jam 03.00 pagi buta, di desa sudah dianggap
pagi-kerja, sementara di kota, bahkan masih sangat malam. Penafsiran itu
semata-mata berdasarkan pada kondisi dan kebiasaan saja. Bila hal itu dikaitkan
dengan kesibukan kerja, misalnya di terminal, di pasar, di diskotik, atau di
tempat-tempat lain, tentu pemahaman tentang makna dan informasinya juga akan
mengalami perubahan.
Konteks
yang berkaitan dengan partisipan (penutur) juga
sangat berperan dalam memahami makna dan informasi tuturan. Misalnya muncul
tuturan berikut ini. “Saya ingin turun.
Sudah capek.” Kalau yang mengucapkan tuturan itu adalah seorang pejabat
atau politisi, maka sangat mungkin yang dimaksud dengan turun adalah ‘turun dari jabatan’. Namun,
pengertian itu bisa keliru bila tuturan itu, misalnya, diucapkan oleh anak
kecil yang sedang memanjat pohon. Maknanya bisa berubah drastis, yaitu ‘turun dari pohon’. Singkat kata, untuk
mendapatkan pemahaman wacana yang menyeluruh, konteks harus dipahami dan
dianalisi secara mutlak.
Contohnya
lain seperti dialog di bawah ini.
Dialog I
Pembicara : Ibu
Pendengar : Bapak
Tempat : Rumah
Situasi : Sedang menunggu anaknya kembali dari rumah pamannya
Pendengar : Bapak
Tempat : Rumah
Situasi : Sedang menunggu anaknya kembali dari rumah pamannya
karena mengambil sesuatu yang dipinjam
Waktu : Pukul 09.00 Wib.
Ketika si anak kembali, si ibu mengatakan, “Cepat sekali kamu pulang.”
Dialog II
Waktu : Pukul 09.00 Wib.
Ketika si anak kembali, si ibu mengatakan, “Cepat sekali kamu pulang.”
Dialog II
Pembicara : Ibu
Pendengar : Bapak
Tempat : Rumah
Situasi : Menunggu anaknya yang belum kembali dari
Pendengar : Bapak
Tempat : Rumah
Situasi : Menunggu anaknya yang belum kembali dari
rumah temannya
Waktu : Pukul 00.00 Wib
Ketika si anak datang, si Ibu mengatakan, “Cepat sekali kamu pulang”.
Ketika si anak datang, si Ibu mengatakan, “Cepat sekali kamu pulang”.
Kalimat
“Cepat sekali kamu pulang” yang diucapkan si ibu pada dialog I dan II memiliki
bentuk yang sama, tetapi maknanya berbeda. Kalimat pada dialog I, si ibu
sungguh-sungguh mengatakan bahwa anaknya sangat cepat kembali dari rumah paman
atau dapat dikatakan si Ibu memuji anaknya yang melaksanakan perintah/kerja
dengan cepat. Berbeda dengan dialog II, kalimat itu memiliki makna sindiran
pada anaknya yang terlambat pulang ke rumah. Kata “Cepat sekali kamu pulang”
pada kalimat dialog II bukan makna sebenarnya yang menyakan si anak pulang
dengan cepat, malah sebaliknya, yaitu pulangnya lambat.
Hal
ini harus diterangkan secara pragmatik karena kata-kata maupun kalimatnya
secara semantik tidak memperlihatkan arti sindiran. Dengan begitu, pendengar
atau pembaca harus mengetahui konteks kalimat tersebut agar dapat mengetahui
maksut suatu kaliamt itu dengan tepat. Begitu pentingnya mengetahui konteks
sebuah kalimat atau wacana karena hal itu dapat menimbulkan perbedaan antara
dua kalimat yang sama seperti yang ada dalam contoh di atas. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa perbedaan konteks mengakibatkan perbedaan makna.
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konteks adalah ruang dan waktu yang
meliputi lingkungan fisik dan sosial tertentu dalam memahami suatu teks. Teks
yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya teks-teks yang dilisankan dan yang
ditulis, melainkan termasuk pula kejadian-kejadian yang nirkata (nonverbal)
lainnya atau keseluruhan lingkungan teks itu. Selain itu, konteks juga dianggap
sebagai penyebab terjadinya suatu pembicaraan atau interaksi komunikasi.
d. Macam-Macam Konteks
1. Konteks
Situasi
Semua
pemakaian bahasa mempunyai konteks. Ciri-ciri
‘tekstual’ memungkinkan wacana menjadi padu bukan hanya antara unsur-unsurnya
dalam wacana itu sendiri tetapi juga dengan
konteks situasinya. Halliday & Hasan (1994) mengatakan yang dimaksud dengan konteks situasi adalah lingkungan
langsung tempat teks itu benar-benar berfungsi. Atau dengan kata lain, kontek
situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun
lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Dalam pandangan
Halliday (1994: 16), konteks situasi terdiri dari (1) medan wacana, (2) pelibat
wacana, dan (3) modus/sarana wacana. Medan wacana merujuk pada aktivitas sosial
yang sedang terjadi atau apa yang sesungguhnya disibukkan oleh para pelibat.
Pelibat wacana merujuk pada orang-orang yang mengambil bagian, sifat para
pelibat, kedudukan dan peran mereka, jenis-jenis hubungan peranan apa yang
terdapat di antara para pelibat. Sarana wacana merujuk pada bagian bahasa yang
sedang dimainkan dalam situasi, termasuk saluran yang dipilih, apakah lisan
atau tulisan.
Hymes dalam Brown & Yule (1983: 38-39) memberi penjelasan
lebih rinci mengenai ciri-ciri konteks yang relevan dalam konteks situasi,
yaitu:
a) Pembicara/Penulis
(Addressor)
Pembiacara atau penulis adalah seseorang yang
memproduksi/menghasilkan suatu ucapakan. Mengetahui si pembicara pada suatu
situasi akan memudahkan untuk menginterpretasi pembicaraanya. Umpanya saja
seseorang mengatakan ‘operasi harus dilakukan’. Kalau kita ketahui si pembicara
adalah dokter, tentu kita akan paham yang dimaksud dengan ‘operasi’ adalah operasi terhadap manusia atau hewan. Tetapi jika
yang berbicara adalah ahli ekonomi, kita kan paham bahwa yang dimaksud dengan
operasi adalah mendistrubusikan beras ke pasar dari pemerintah untuk
menyetabilkan harga. Beda pula ketika mengatakan adalah pencuri, perampok, dan
polisi. Jadi, jelas sekali bagaimana pentingnya mengetahui si pembicara demi
menafsikan pembicaraannya. Kalau tidak diketahui siapa pembicaranya, maka akan
sulitlah untuk memahami kata-kata yang diucapkan atau dituliskan.
b) Pendengar/pembaca (Addresse)
Pendengar/pembaca adalah seseorang yang menjadi mitra tutur/baca dalam
suatu berkomunikasi atau dapat dikatakan seseorang yang menjadi penerima
(recepient) ujaran.. Kepentingan mengetahui si pembicara sama pentingnya dengan
mengetahui si pendengar, terhadap siapa ujaran
tersebut ditujukan akan memerjelas ujaran itu. Berbeda penerima ujaran, akan
berbeda pulalah tafsiran terhadap apa yang didengarnya.
c) Topik pembicaraan
(Topic)
Dengan mengetahui topik pembicaraan, akan mudah bagi seseorang pendengar/pembaca untuk
memahami pembicaraan atau tulisan.
d) Saluran (Channel)
Selain partisipan dan
topic pembicaraan, saluran juga snagat penting di dalam menginterpretasikan
makna ujaran. Saluran yang dimaksud dapat secara lisan atau tulisan.
e) Kode (Code)
Kode yang dimaksud
adalah bahasa, dialek atau gaya bahasa seperti apa yang digunakan di dalam
berkomunikasi. Misalnya, jika saluran yang digunakan bahasa lisan, maka kode
yang dapat dipilih adalah dialek bahasa. Seseorang yang mengungkaplamn isi
hatinya dengan bahasa daerah kepada temannya akan meresa lebih bebas, akrab,
dan lain sebagainya dibandingkan dengan mengguankan Bahasa Indonesia.
f)
Bentuk Pesan (Message Form)
Pesan yang disampaikan haruslah
tepat, karena bentuk pesan ini bersifat penting. Menyampaikan tentang ilmu
pasti misalnya, dengan rumus-rumus tertentu, pastilah berbeda dengan
menyampaikan ilmu sejarah atau ilmu bahasa. Bentuk penyampaian pesan juga dapat
beragam. Seperti lewat khotbah, drama, puisi, surat-surat cinta, dan lainnya.
g) Peristiwa (Event)
Peristiwa tutur tentu sangat
beragam. Hal ini ditentukan oleh tujuan pembicaraan
itu sendiri. Peristiwa tutur seperti wawancara
atau dipengadilan akan berbeda dengan peristiwa tutur di pasar.
h) Tempat dan waktu (Setting)
Keberadaan tempat, waktu, dan
hubungan antara keduanya, dalam suatu peristiwa komunikasi dapat memerikan
makna tertentu. Di mana suatu tuturan itu
berlangsung; di pasar, di kantot, dan lainna. Demikian juga, kapan suatu tuturan itu berlangsung; pagi hari, siang hari,
suasana santai, resmi, tegang, dan lainnya.
Dell Hymes dalam Moeliono (2005: 23-24) merumuskan ihwal
faktor-faktor penentu dalam peristiwa tutur dalam konteks situasi yang tidak jauh berbeda dengan
penjelasan sebelumnya, melalui akronim SPEAKING. Tiap-tiap fonem mewakili
faktor penentu yang dimaksudkan.
S : Setting and scene, yaitu latar dan
suasana. Latar (setting) lebih bersifat fisik, yang meliputi tempat dan waktu
terjadinya tuturan. Sementara scene adalah latar psikis yang lebih mengacu pada
suasana psikologis yang menyertai tuturan.
P : Participants, peserta tuturan, yaitu
orang-orang yang terlibat dalam percakapan, baik langsung maupun tidak
langsung. Hal-hal yang berkaitan dengan partisipan, seperti usia, pendidikan,
latar social, dsb juga menjadi perhatian.
E : Ends, hasil, yaitu hasil atau tanggapan
dari suatu pembicaraan yang memang diharapkan oleh penutur (ends as outcomes),
dan tujuan akhir pembicaraan itu sendiri (ends
in view goals).
A : Act sequence, pesan/amanat, terdiri dari
bentuk pesan (message form) dan isi pesan (message content).
K : Key, meliputi cara, nada, sikap, atau
semangat dalam percakapan. Semangat percakapan, misalnya: serius, santai,
akrab, dsb.
I : Instrumentalities atau sarana, yaitu
sarana percakapan. Maksudnya dengan media apa percakapan tersebut disampaikan.
Misalnya: dengan cara lisan, tertulis, surat, radio, dsb.
N : Norms, menunjuk pada norma atau aturan
yang membatasi percakapan. Misalnya, apa yang boleh dibicarakan dan tidak,
bagaimana cara membicarakannya: halus, kasar, terbuka, dsb.
G : Genres atau jenis, yaitu jenis atau
bentuk wacana. Hal ini langsung menunjuk pada jenis wacana yang disampaikan.
Misalnya: telepon, koran, puisi, ceramah, dsb.
2. Konteks
Pengetahuan
Schiffirin (2007: 549) mengatakan bahwa teori tindak tutur
dan pragmatik memandang konteks dalam istilah pengetahuan, yaitu apa yang
mungkin bisa diketahui oleh antara si pembicara
dengan mitra tutur dan bagaimana pengetahuan tersebut membimbing/menunjukkan
penggunaan bahasa dan interpretasi tuturannya. Artinya ketika pembicara dan
mitra tutur memiliki kesamaan pengetahuan akan apa yang dibicarakan atau dapat
juga disebut common ground, maka kesalahpahaman atau ketidaktepatan
interpretasi tidak akan terjadi.
Imam Syafi’e (1990: 126) menambahkan bahwa, apabila dicermati
dengan benar, konteks terjadinya suatu percakapan dapat dipilah menjadi
empat macam, yaitu:
1)
Konteks linguistik,
yaitu kalimat-kalimat di dalam percakapan.
2)
Konteks epistemis,
adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh partisipan.
3)
Konteks fisik, meliputi
tempat terjadinya percakapan, objek yang disajikan di dalam percakapan dan
tindakan para partisipan.
4)
Konteks sosial, yaitu
relasi sosio-kultural yang melengkapi hubungan antarpelaku atau partisipan
dalam percakapan.
Keempat konteks tersebut memengaruhi kelancaran komunikasi. Oleh
karena itu, ciri-ciri konteks harus diidentifikasikan secara cermat,
sehingga isi pesan dalam peristiwa komunikasi dapat dipahami dengan benar.
Pertama, memertimbangkan pentingnya pemahaman tentang konteks linguistik.
Karena dengan itu kita dapat memahami dasar
suatu tuturan dalam komunikasi. Tanpa mengetahui struktur bahasa dan wujud
pemakaian kalimat tertentu, kita tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Namun
pengetahuan tentang struktur bahasa dan wujud pemakaian kalimat saja, kita
tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Kemampuan tersebut harus dilengkapi
dengan pengetahuan konteks fisiknya, yaitu dimana komunikasi itu terjadi dan
apa objek yang dibicarakan. Kemudian, ditambah dengan pengetahuan kontek
sosial, yaitu bagaimana hubungan pembicara dengan pendengar dalam lingkungan
sosialnya. Terakhir harus memahami hubungan epistemiknya, yaitu pemahaman atau
pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh pendengar dan pembicara.
Oleh
karena itu, uraian tentang konteks terjadinya suatu percakapan (wacana)
menunjukkan bahwa konteks memegang peranan penting dalam memerikan bantuan
untuk menafsirkan suatu wacana. Kesimpulannya, secara singkat dapat dikatakan: in language, context is everything.
Dalam berbahasa (berkomunikasi) konteks adalah segalanya.
C. HUBUNGAN
ANTARA TEKS, KO-TEKS, DAN KONTEKS
Dilihat dari hakikat teks seperti yang telah
dikemukakan di atas, teks merupakan esensi wujud suatu bahasa. Sebuah teks
bukan sekedar unit tata bahasa yang tampak, akan tetapi teks merupakan unit
semantik memunyai satu kesatuan arti. Kemudian, koteks adalah teks yang
bersifat sejajar, koordinatif, dan memiliki hubungan dengan teks lainnya, teks
yang satu memiliki hubungan dengan teks lainnya. Teks lain tersebut bisa berada
di depan (mendahului) atau di belakang (mengiringi). Sedangkan konteks adalah
situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai
sebagai sebab atau alasan terjadinya suatu pembicaraa/dialog/teks.
Berdasarkan
ketiga definisi dari teks, koteks, dan konteks tersebut maka dapat dikatakan
bahwa hubungan antara teks, koteks dan konteks sangatlah erat atau selalu
berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Dengan adanya koteks dalam struktur
wacana menunjukkan bahwa teks tersebut memiliki struktur yang saling berkaitan
satu dengan yang lainnya sehingga wacana menjadi utuh dan lengkap. Kemudian,
dengan adanya konteks, maka munculah sebuah wacana yang terdiri dari teks-teks.
Hal tersebut dikarenakan makna yang terealisasi di dalam teks merupakan hasil
interaksi pemakai bahassa dengan konteksnya, sehingga konteks merupakan wahana
terbentuknya teks.
Contohnya:
Ada
sebuah wacana dalam bentuk tulisan yang digantungkan di lorong akhir suatu
jalan kampung.
“Terima kasih.”
Wacana
itu jelas-jelas merupakan wacana potongan. Makna dan interpretasi apa yang
dapat diambil dari gantungan tulisan itu? Ternyata ada wacana atau teks
lain yang sebelumnya tergantung di
lorong masuk jalan kampung tersebut, yaitu:
“Jalan pelan-pelan! Banyak anak-anak.”
Wacana
“Jalan pelan-pelan! Banyak anak-anak.” Adalah peringatan bagi orang yang akan
melewati lorong kampung itu. Apabila para pejalan telah menaatinya, misalnya
dengan memerlambat laju kendaraannya, maka wacana “Terima kasih.” adalah suatu
ucapan yang diberikan masyarakat kepada para pengguna jalan (lorong) tersebut.
Inilah yang dinamakan pertalian antara teks satu dengan yang lainnya. Salah
satu teks tersebut berkedudukan sebagai koteks.
Kaitannya
dengan konteks, kedua teks tersebut tidak akan muncul atau digantung di lorong
tersebut jika tidak ada konteks yang melatarbelakangi penduduk, mungkin
orangtua atau ketua RT untuk melakukannya. Ternyata, penduduk di lingkungan
lorong tersebut banyak yang memiliki anak balita (di bawah 10 tahun) yang
sering lalu lalang untuk bermain tanpa memerhatikan pejalan (yang membawa
kendaraan) yang melintas di lorong tersebut.
D. Kesimpulan
Berdasarkan
beberapa pendapat disimpulkan bahwa teks adalah suatu kesatuan bahasa baik
lisan maupun tulisan yang memiliki isi dan bentuk yang saling berkaitan. Koteks
diartikan sebagai kalimat atau unsur-unsur yang mempunyai keterkaitan dan kesejajaran dengan teks yang
didampinginya (teks lain). Konteks adalah ruang dan waktu yang meliputi
lingkungan fisik dan sosial tertentu dalam memahami suatu teks, yaitu
kejadian-kejadian nonverbal atau keseluruhan lingkungan teks itu.
Dilihat
dari hubungan teks, koteks, dan konteks, konsep teks dan koteks merupakan aspek
dari suatu proses yang sama. Ketika ada teks yang menyertai suatu teks lain,
maka teks lain itu menjadi koteks karena menyertai suatu teks. Oleh karena
itulah para linguis memandang antara koteks dan konteks memiliki perbedaan. Jika
koteks merupakan lingkungan kebahasaan, maka konteks adalah lingkungan di luar
bahasa seperti situasi dan tempat teks itu terbentuk. Dengan demikian, suatu
wacana yang dikatakan utuh apabila mengandung koteks dan konteks yang jelas
agar makna dan maksud wacana tersebut dapat dipahami secara jelas oleh
pendengar atau pembacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar