Senin, 15 Juni 2015

A. Tindak Tutur Versi Austin


A.    Tindak Tutur Versi Austin
Teori tindak tutur muncul sebagai reaksi terhadap ‘descriptive fallacy’, yaitu pandangan bahwa kalimat deklaratif selalu digunakan untuk mendeskripsikan faka atau ‘state of affairs‘, yang harus dilakukan secara benar atau secara salah (Malmkjer, 2006: 560).
Ada dua jenis ujaran, menurut Austin, yaitu:
1.      Ujaran konstantif
Yaitu ujaran yang tidak melakukan tindakan dan dapat diketahui salah-benarnya. Menurut Austin (1962), ujaran konstantif adalah jenis ujaran yang melukiskan suatu keadaan faktual, yang isinya boleh jadi merujuk ke suatu fakta atau kejadian historis yang benar-benar terjadi pada masa lalu. Ujaran konstantif memiliki konsekuensi untuk ditentukan benar atau salah berdasarkan hubungan faktual antara si pengujar dan fakta sesungguhnya. Jadi, dimensi pada ujaran konstatif adalah benar-salah.
Contoh: Kamu terlihat bahagia.
2.      Ujaran performatif
Yaitu ucapan yang berimplikasi dengan tindakan si penutur sekalipun sulit diketahui salah-benarnya, tidak dapat ditentukan benar-salahnya berdasarkan faktanya karena ujaran ini lebih berhubungan dengan perilaku atau perbuatan si penutur. Ujaran seperti “Kamu dipecat!”, “Dengan ini Saudara saya nyatakan bersalah” merupakan contoh ujaran performatif. Dimensi pada ujaran performatif adalah senang-tidak senang (happy/felicitious-unhappy/infelicitious), yang ditentukan melalui empat jenis kondisi, yaitu: (1) adanya konvensi umum bahwa ujaran kata-kata tertentu oleh orang tertentu dalam situasi tertentu akan menghasilkan efek tertentu, (2) semua partisipan dalam prosedur (1) harus melaksanakan prosedur tersebut secara benar dan lengkap/sempurna, (3) jika konvensinya adalah bahwa partisipan dalam prosedur tersebut memiliki pikiran, perasaan dan niat tertentu, maka partisipan berarti memiliki pikiran, perasaan dan nita tertentu tersebut, dan (4) jika konvensinya adalah setiap partisipan harus bersikap tertentu, berarti partisipan tersebut harus bersikap tertentu (sesuai konvensinya). Jika satu dari kondisi diatas tidak terpenuhi, berarti ujaran performatif tersebut tidak senang (unhappy). Namun, kemudian Austin sendiri meragukan cara pembedaan diatas dengan mengajukan tes “I hereby” untuk menentukan ujaran performatif atau konstantif. Austin menyebutkan bahwa ujaran performatif bercirikan “speech act verbs” atau verba performatif. Pembedaan diatas kemudian ditinggalkan. Austin kemudian membedakan ujaran performatif eksplisit dan implisit, yang dicirikan dengan ada tidaknya verba performatif.
Sumbangan terbesar Austin dalam teori tindak tutur adalah pembedaan tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi. Menurut Austin, setiap kali penutur berujar, dia melakukan tiga tindakan secara bersamaan, yaitu (a) tindak lokusi (locutionary acts), tindak ilokusi (illocutionary acts) dan tindak perlokusi (perlocutionary acts). Menurut Austin (1962), andai si penutur berniat menguratakan sesuatu yang pasti secara langsung, tanpa keharusan bagi si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya, niatannya disebut tindak tutur lokusi. Bila si penutur berniat mengutarakan sesuatu secara langsung, dengan menggunakan suatu daya yang khas, yang membuat penutur berntindak sesuai dengan apa yang dituturkannya, niatannya disebut tindak tutur ilokusi. Dalam pernyataan lain, tindak ilokusi adalah tindak dalam menyatakan sesuatu (performatif) yang berlawanan dnegan tindak menyatakan sesuatu (konstantif). Sementara itu, jika si penutur berniat menimbulkan respons atau efek tertentu kepada mitra tuturnya, niatannya disebut tindak tutur perlokusi. Bila tindak lokusi dan ilokusi lebih menekankan pada peranan tindakan si penutur, tindak perlokusi justru lebih menekankan pada bagaimana respons si mitra tutur. Hal yang disebutkan terakhir ini, menurut Austin, berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai pemengaruh pikiran dan perasaan manusia. Kendati demikian, ketiga tindak tutur tersebut merupakan satu kesatuan yang koheren di dalam keseluruhan proses tindak pengungkapan bahasa sehingga seharusnya mencerminkan prinsip adanya satu kata dan tindakan atau perbuatan.
a.       Tindak lokusi
Melakukan tindakan untuk mengatakan sesuatu. Tindakan lokusi mengandung makna literal. Contoh: “It is hot here”, makna lokusinya berhubungan dengan suhu udara di tempat itu.
b.      Tindak ilokusi
Melakukan suatu tindakan dengan mengatakan sesuatu. Pada tindak tutur ilokusi, penutur menyatakan sesuatu dengan menggunakan suatu daya yang khas, yang membuat si penutur bertindak sesuai dengan apa yang dituturkanya. Tindakan ini mengandung makna yang berhubungan dengan fungsi sosial.
Austin membagi tindak ilokusi kedalam lima subjenis:
1.             verdiktif (verdictives), tindak tutur yang ditandai oleh adanya keputusan yang bertalian dengan benar-salah, misalnya (perhatikan kata yang bergaris bawah), “Hamdan dituduh menjadi dalang unjuk rasa”
2.             Eksersitif (exercitives), tindak tutur yang merupakan akibat adanya kekuasaan, hak, atau pengaruh, misalnya “saya meminta Anda untuk datang ke kantor pagi-pagi,” ujar Zacky kepada sekretarisnya;
3.             Komisif (commissives), tindak tutur yang ditandai oleh adanya perjanjian atau perbuatan yang menyebabkan si penutur melakukan sesuatu, misalnya “Universitas Nasional menandatangani kerja sama dengan University Malaya dalam penerbitan jurnal ilmiah,” ucap Lina di muka rapat pimpinan.
4.             Behavitif (behavitives), tindak tutur yang mencerminkan kepedulian sosial atau rasa simpati, misalnya “Pemerintah Singapura ikut prihatin terhadap TKI Indonesia yang mengalami penyiksaan di Arab Saudi”, dan
5.             Ekspositif (expositives), tindak tutur yang digunakan dalam menyederhanakan pengertian atau definisi, misalnya “bail out” itu ibarat seseorang yang utang-nya kepada seseorang dibayari oleh orang lain yang tidak dikenalrnya.”
c.       Tindak perlokusi (Perlocutionary act)
Melakukan suatu tindakan dengan mengatakan sesuatu. Tindak perlokusi menghasilkan efek atau hasil. yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar, sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu. Tanggapan tersebut tidak hanya berbentuk kata-kata, tetapi juga berbentuk tindakan atau perbuatan.

B.     Tindak Tutur Versi Searle
Searle (dalam Rahardi, 2005: 35-36) menyatakan bahwa dalam praktiknya terdapat tiga macam tindak tutur antara lain:
1.      Tindak lokusioner
Adalah  tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Kalimat ini dapat disebut sebagai the act of saying something. Dalam lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur. Jadi, tuturan “tanganku gatal” misalnya, semata-mata hanya dimaksudkan memberitahukan si mitra tutur bahwa pada saat dimunculkannya tuturan itu tangan penutur sedang dalam keadaan gatal.
2.      Tindak ilokusioner
 Adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something. Tuturan “tanganku gatal” diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan mitra tutur bahwa pada saat dituturkannya tuturan tersebut, rasa gatal sedang bersarang pada tangan penutur, namun lebih dari itu bahwa penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan rasa gatal pada tangan penutur, misalnya mitra tutur mengambil balsem.
3.      Tindakan perlokusi
Adalah tindak menumbuh pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Tindak tutur ini disebut dengan the act of affecting someone. Tuturan “tanganku gatal”, misalnya dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut itu muncul, misalnya, karena si penutur itu berprofesi sebagai seseorang tukang pukul yang pada kesehariannya sangat erat dengan kegiatan memukul dan melukai orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar